Fintechpost.ID – Silicon Valley Bank (SVB) bangkrut dan akhirnya resmi ditutup otoritas berwenang Amerika Serikat (AS).
Hal ini menjadi kegagalan terbesar dalam dunia perbankan di Amerika Serikat (AS) yang kembali terjadi setelah sekian lama setelah bangkrutnya Bank Washington Mutul pada tahun 2008.
Sebelum bangkrut, SVB merupakan bank terbesar ke-16 di AS. Bank ini menyimpan deposit sekaligus pemberian pinjaman untuk banyak perusahaan rintisan (starup).
Dikutip dari berbagai sumber, SVB mengalami masalah klasik yakni Bank Run atau penarikan dana besar-besaran oleh masyarakat. Namun ada versi lebih panjang dan rumit yang menyebabkan SVB bankrut.
Baca juga: Wow! Ternyata Segini Aset Bank Milik 2 Konglomerat RI Jika Digabungkan
Kebangkrutan Silicon Valey Bank ini membuat bos-bos starup teknologi ketar-ketir. Pasalnya, kebangkrutan ini berpotensi menimbulkan efek domino yang luas bagi industri starup teknologi.
Bangkrutnya SVB berawal saat Federal Reserve (The Fed) mulai menaikkan suku bunga setahun lalu untuk menjinakan inflasi.
The Fed bergerak agresif menyebabkan naiknya biaya pinjaman, hingga melemahkan momentum saham teknologi yang selama ini menguntungkan SVB.
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menilai, penutupan SVB tidak akan berdampak langsung terhadap industri perbankan Indonesia.
Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan OJK Dian Ediana Rae mengatakan industri perbankan Indonesia memiliki kondiri yang kuat dan stabil.
“Penutupan SVB diperkirakan tidak berdampak langsung terhadap perbankan Indonesia yang tidak memiliki hubungan bisnis, facility line maupun investasi pada produk sekuritisasi SVB,” Ujar Dian.
Dian menambahkan, bank-bank di Indonesia tidak memberikan kredit dan investasi kepada perusahaan technology startups maupun kripto. Oleh karena itu, Ia berharap masyarakat dan industri tidak terpengaruh terhadap berbagai spekulasi yang berkembang.
Dian menilai, Indonesia setelah krisis keuangan 1998 telah melakukan langkah-langkah yang mendasar dalam rangka penguatan kelembagaan.
“Infrastruktur hukum dan penguatan tata kelola serta perlindungan nasabah yang telah menciptakan sistem perbankan yang kuat, resilien, dan stabil,” Ungkapnya.
Hal ini terlihat dari kinerja industri perbankan yang terjaga baik dan solid. Selain itu Dian mengatakan industri perbankan Indonesia tetap tumbuh positif di tengah tekanan perekonomian domestik dan global yang selama ini berlangsung.
Saat ini kondisi perbankan Indonesia menunjukkan kinerja likuiditas yang baik. “AL/NCD dan AL/DPK di atas threshold yakni sebesar 129,64 persen dan 29,13 persen jauh diatas ambang batas ketentuan masing-masing sebesar 50 persen dan 10 persen,” Ungkap Dian.
Aset perbankan juga terjaga pada komposisi yang proporsional dengan komposisi Dana Pihak Ketiga (DPK) yang didominasi oleh current account and saving account (CASA) atau dana murah yang semakin meningkat. Dengan begitu menurutnya tidak sensitif terhadap pergerakan suku bunga.
Dan juga untuk kinerja lainnya seperti risiko kredit, risiko pasar, permodalan, dan profitabilitas masih terjaga dan tumbuh positif.
Saat ini tidak ada bank umum di Indonesia yang masuk dalam kategori Bank Dalam Resolusi yaitu bank yang mengalami kesulitan keuangan, membahayakan kelangsungan usahanya, dan tidak dapat disehatkan.
OJK selalu melakukan berbagai kebijakan kolaboratif dan sinergi dengan Bank Indonesia, Kementerian Keuangan, Lembaga Penjamin Simpanan, baik secara langsung maupun melalui Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK). Khususnya dalam rangka mengantisipasi dampak dan tekanan global yang mungkin terjadi.
Baca juga: PermataBank Tawarkan Pengalaman Yang Modern Dan Inovatif
“OJK memastikan akan terus meningkatkan pemantauan terhadap berbagai perkembangan yang terjadi secara global dan implikasinya terhadap perbankan Indonesia,” Tutup Dian.